Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada
terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar
dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik,
serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A’raf/7:199]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. [Ali Imran/3:159]
Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya)
baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan
amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali-Imran/3:134]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan
besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza
wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah
Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada
saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)” [1]
لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى وَلاََ تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia
dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah
memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran
pahala dan keutamaan di sisi Allah Azza wa Jalla. [2]
MAAF-MEMAAFKAN DI HARI RAYA
Amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan
tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam.
Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu
yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut.
Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul
Fithri dan Idul Adha.
Ini termasuk perbuatan bid’ah [3] yang jelas-jelas telah diperingatkan
keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam dalam sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang
diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua
yang sesat (tempatnya) dalam neraka” [4]
Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah
yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan
memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah
disebutkan dalam keterangan diatas ?
Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat
jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil
(argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika
dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka
berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.
Sebagai contoh shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan
dalam Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan
pada hari Jum’at, maka dua masalah besar tersebut menjadi tercela dan
haram untuk dilakukan [5], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam.
لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى وَلاََ تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at di antara malam-malam
lainnya (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari
Jum’at di antara har-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang
bisa dilakukan oleh salah seorang darimu. [6]
Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan nama “bid’ah
idhafiyyah”, yaitu perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam,
akan tetapi sebagian kaum Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut
dengan waktu, tempat, sebab, keadaan atau tata cara tertentu yang tidak
bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7]
Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada
bulan Rajab dan Sya’ban. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata tentang dua
shalat ini : “Shalat (malam di bulan) Rajab dan Sya’ban adalah bid’ah
yang sangat buruk dan tercela” [8]
Imam Abu Syamah rahimahullah menjelaskan kaidah penting ini dalam
ucapannya: “Tidak diperbolehkan mengkhususkan ibadah-ibadah dengan
waktu-waktu (tertentu) yang tidak dikhususkan oleh syariat, akan tetapi
hendaknya semua amal kebaikan tersebut bebas (dilakukan) di setiap waktu
(tanpa ada pengkhususan). Tidak ada keutamaan satu waktu di atas waktu
yang lain, kecuali yang diutamakan oleh syariat dan dikhsusukan dengan
satu macam ibadah…. Seperti puasa di hari Arafah dan Asyura, shalat di
tengah malam, dan umrah di bulan Ramadhan…”[9]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “… Termasuk (contoh) dalam hal
ini bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
larangan mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jum’at, agar
tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan bid’ah dalam agama
(yaitu) dengan pengkhususan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak
dikhususkan oleh syarat” [10]
MENIMBANG ACARA HALAL BIL HALAL
Termasuk acara yang marak dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia
dalam rangka saling memaafkan setelah hari raya Idhul Fithri adalah apa
yang biasa dikenal dengan acara Halal bil halal.
Acara ini termasuk perbuatan bid’ah yang tercela dengan alasan seperti
yang kami paparkan diatas. Acara ini tidak pernah dilakukan dan
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi
terbaik umat ini, para sahabat Radhiyallahu anhum, serta para imam ahlus
sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Padahal mereka adalah
orang-orang yang telah dipuji pemahaman dan pengamalan Islam mereka oleh
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
Azza wa Jalla berfirman.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat) dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang benar. [at-Taubah/9 : 100]
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda : Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa
mereka (para Sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka,
kemudian generasi yang datang setelah mereka. [11]
Disamping itu acara ini ternyata berisi banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat Allah Azz wa Jalla, diantaranya :
1. Terjadinya ikhtilath (bercampur baur secara bebas) antara laki-laki
dengan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat.
Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, bahkan ini merupakan biang
segala kerusakan di masyarakat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku tidak
meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya
bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan” [12]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mejelaskan hal ini dalam ucapan beliau :
“Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas
dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan
ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang
merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan
dalam semua perkara yang umum maupun yang khusus. Pergaulan bebas
merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini
termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan munculnya wabah
penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan” [13]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah lebih menegaskan hal ini dalam
ucapan beiau : “Dalil-dalil (dari al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki)
berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula
diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia)
ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Dalil-dalil
tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman
–ikhtilath (bercampur baur secara bebas antara laki-laki dengan
perempuan kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya” [14]
2. Bersalaman dan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya).
Perbuatan ini sangat diharamkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh jika kepala seorang laki-laki
ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia
menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya” [15]
3. Kehadiran para wanita yang besolek dan berdandan seperti dandanan wanita-wanita Jahiliyah.
Ini juga diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kalian (wahai kaum perempuan Mukminah) menetap di
rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek dan
berhias) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu.
[Al-Ahzab/33 : 33]
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar
(rumah) setan akan mengikutinya (menghiasinya agar menjadi fitnah bagi
laki-laki), dan keadaannya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah)
adalah ketika dia berada di dalam rumahnya” [16]
Wallahu a’lam
[1]. HR. Muslim no. 2588 dan imam-imam lainnya
[2]. Lihat syarh Shahih Muslim 16/14 dan Tuhfatul Ahwadzi 6/150
[3]. Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah Azza wa Jalla, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[4]. HR. Muslim no. 867, an-Nasai no. 1578 dan Ibnu Majah no.45
[5]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’ hlm.151
[6]. HR. Muslim no. 1144
[7]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’ hlm.147-148
[8]. Fatawa al-Imam an-Nawawi hlm.26
[9]. Al-Baits ‘ala Inkaril Bida’i wal Hawadits hlm.165
[10]. Ighatsatul Lahfan I/368
[11]. HR. al-Bukhari dan Muslim
[12]. HR. al-Bukhari no. 4808 dan Muslim no. 2740
[13]. Seperti penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya. Na’udzu billahi min dzalik.
[14]. Majalatul Buhutsil Islamiyah 7/343
[15]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir no. 486 dan 487 dan
ar-Ruyani dalam al-Musnad 2/227, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani
dalam ash-Shahihah no. 226
[16]. HR Ibnu Khzaimah no. 1685, Ibnu Hibban no. 5599 dan ath-Thabrani
dalam al-Mu’jamul Ausath no. 2890, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan al-Albani dalam ash-Shahihah no.
2688